Pages

Minggu, 26 Juni 2011

Berdoa itu Ibadah


Berdoa merupakan suatu ibadah, bahkan menjadi otaknya ibadah. Kenapa doa menjadi otaknya ibadah? Karena, dengan berdoa jelas sekali memperlihatkan penghambaan manusia kepada Allah. Dengan berdoa kepada Allah, maka terwujudlah: Allah, tempat meminta, tempat memohon, sedang si hamba adalah makhluk yang hina dan selalu dalam kekurangan.

Karena suatu ibadah, maka berdoa sangatlah dianjurkan (diperintahkan) oleh agama, walaupun doa tidak memerlukan suatu syarat dan rukun yang ketat, seperti halnya ibadah shalat, zakat, dan puasa.
Banyak firman Allah SWT. dan hadits Rasulullah SAW. yang menerengkan tentang doa dan merintahkan orang-orang beriman agar berdoa diantaranya adalah sebagai berikut:

Al-Quran

Surat Al-A'râf ayat 55-56

Artinya: "Mohonlah (berdoalah) kamu kepada Tuhanmu dengan cara merendahkan diri dan cara halus, bahwasannya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas; dan janganlah kamu berbuat kebinasaan di bumi (masyarakat) setelah la baik; dan mohonlah (berdoalah) kamu kepada Allah dengan rasa takut dan loba (sangat mengharap); bahwasannya rahmat Allah itu sangat dekat kepada orang-orang, yang ihsan (Iman kepada Allah dan berbuat kebajikan)."

Surah Al-Baqarah ayat 186

Artinya: "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepada engkau tentang Aku, maka sesungguhnya Aku sangat dekat (kepada mereka). Aku perkenankan doa orang-orang yang mendoa apabila ia memohon (mendoa) kepada-Ku. Sebab itu, hendaklah mereka memenuhi (seruan)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, mudah-mudahan mereka mendapat petunjuk."

Surah Al-Mu'min, ayat 60

Artinya: "Dan berfirman Tuhanmu "Memohonlah (mendoalah) kepada-Ku, Aku pasti perkenankan permohonan (doa) mu itu."


Surah Al-A'râf, ayat 180:


Artinya: "Dan Allah mempunyai nama-nama yang sangat indah (Al-Asmâ'u al-Husnâ), maka memohonlah kamu kepada-Nya dengan (menyebut) nama-nama itu."

Surah Al-Isrâ', ayat 110

Artinya: "Katakanlah olehmu hai Muhammad: berdoalah (pujilah) akan Allah atau berdoalah (pujilah), akan Ar-Rahmân (Maha penyayang)."

Surah Yûnûs, ayat 10

Artinya: "Doa (percakapan) mereka di dalamnya (surga), adalah Allâhumma (Mahasuci Engkau wahai Tuhan)."

Al-Hadits


Diriwayatkan dari Abû Dâud dan Al-Turmudzî

Artinya: "Doa itu adalah lbadah.

Diriwayatkan dari Al-Turmudzî yang artinya sebagai berikut:
"Barangsiapa dibukakan pintu doa untuknya, berarti telah dibukakan pula untuknya segala pintu rahmat. Dan tidak dimohonkan kepaia Allah, yang lebih disukai-Nya selain daripada dimohonkan 'afiyah. Doa itu memberi manfaat terhadap yang telah diturunkan dan yang belum diturunkan. Dan tak ada yang dapat menangkis ketetapan Tuhan, kecuali Doa. Sebab itu berdoa kamu sekalian." (HR. Al-Turmudzî).

Diriwayatkan dari Al-Turmudzî

Artinya: "Tiap Muslim di muka bumi yang memohonkan suatu permohonan kepada Allah, pastilah permohonannya itu dikabulkan Allah, atau dijauhkan Allah daripadanya sesuatu kejahatan, selama ia mendoakan sesuatu yang tidak membawa kepada dosa atau memutuskan kasih sayang." (HR Al-Thurmudzî).


Sumber :  www.abatasa.com

Kamis, 02 Juni 2011

Tonjokan

Mbah Lasini tetanggaku, Minggu besok akan kendurian, putri bungsunya akan menikah, tapi sejak hari selasa dapurnya sudah penuh dengan barisan rantang susun, rantang-rantang yang kelak akan diisi nasi dan lauk pauk itu, itu nantinya akan berkeliling kampung bahkan keluar kampung sekalipun, sebuah tradisi unik dari masyarakat Lampung ini kemudian berkembang menjadi semacam isyarat persatuan keutuhan bersilaturahim.

Masyarakat Lampung keturunan Jawa ini, melakukan kebisaan yang unik yaitu: jika mereka menggelar hajatan, mereka akan mengundang tetangga dan kerabatnya melalui hantaran makanan penuh lauk pauk yang dikemas dalam rantang susun. Kebiasaan ini dikenal dengan nama `Tonjokan`.

Tonjokan adalah isyarat bahwa yang di undang adalah seseorang yang di tuakan, dihormati disayangi, dan jika si mpunya hajat mengundang dengan kartu undangan biasanya meski kartu undangannya terkesan mewah sekalipun, belum lah tentu orang mau datang ke pesta kenduriannya, tetanggaku bilang, :

“Tonjokan itu penghormatan pihak keluarga Wak, mangkanya harus datang kalau di`Tonjok”.

Tradisi turun temurun ini masih dipegang teguh, akan tetapi tak menutup kemungkinan suku lainpun yang hidup bersama-sama dengan masyarakat yang mengenal kebiasaan ini, ikut-ikutan memakai adat ini, seperti aku misalnya.
Lantas `Tonjokan` juga dijadikan semacam arisan sanak keluarga, artinya mereka yang telah menonjok harus bersiap diri sewaktu-waktu ditonjok, walaaaaah, criiiing ..! pasti sesudahnya babak belur, kok bisa ?, ikuti saja ceritaku …

Sebuah rantang susun berisi lauk pauk dengan takaran diperkirakan bisa di santap satu keluarga itu biasanya terdiri dari : Nasi, Semur ayam, dengan lauk ayam ukuran besar (satu ekor dibelah empat ), Telur balado, Sayuran tumis, Sambal goreng kentang, Mie goreng/ bihun goreng, semuanya dalam takaran agak sedikit banyak.
Dan tentu saja, hantaran `Tonjokan` ini akan membutuhkan tenaga pengantar cukup banyak, seperti yang aku katakan tadi, jumlah rantangnya saja bisa mencapai 500 an buah, bisa kita bayangkan bukan?, betapa repotnya saat menjelang pembagian rantang, karena dibagikan serentak, untuk hantaran kepada kerabat yang agak jauh, biasanya digunakan jasa ojek, maka konvoi hantaran `Tonjokan`pun menjadi fenomena tersendiri, dilihat dari adat dan kebiasaan ini, sudah bisa kita perhitungkan bahwa biaya perhelatan model ini, jelas membutuhkan biaya yang sangat banyak

Bagi tetangga dan kerabat dekat, yang mendapatkan kiriman tonjokan ini, mempunyai kewajiban moral untuk mengembalikan `Tonjokan` yang dia terima. Kerabat dekat biasanya mengembalikan dalam bentuk makanan mentah, katakan lah ini semacam bantuan, gotong royong menanggung biaya perhelatan, atau bisa saja dalam bentuk ampau/ uang dalam amplop (yang jumlahnya sedikit lebih dari biasa/ jika memang ada)

Biasanya si Mpunya hajat telah menunjuk seseorang untuk mencatat semua sumbangan dari orang yang menerima tonjokan, misalnya Ibu Hasan menyumbang/mengembalikan `tonjokan` berupa beras satu karung berisi 25 kg, maksudnya adalah, jika kelak Ibu Hasan satu ketika mengundang lewat `tonjokan` juga , maka dia(pemilik hajat/ orang yang menonjok), harus siap mengembalikan lagi sumbangan beras sebesar 25 kg kepada penyumbang , tidak lebih tidak kurang, dan tentu saja, mereka yang menyumbang hanyalah sebatas keluarga atau kerabat terdekat.

Benar ini adalah adat semata, dan sudah dilakoni oleh sebagian masyarakat Lampung keturunan Jawa sejak lama, jadi meski awalnya keningku sedikit berkerut, karena agak risi dengan kebiasaan adat tersebut, berhubung ada semacam peraturan tak tertulis, yaitu yang ditonjok `wajib` datang mengantarkan sumbangan gotong royong hajatan, maka mau tak mau aku terpaksa ikutan wajib datang meski lebih sering datang dengan membawa ampau saja.

Ada cerita lucu sekaligus miris dari tradisi `tonjokan` ini, pernah, seorang tetanggaku yang kebetulan dahulu akan mengkhitankan anak lelakinya, satu bulan menjelang hajatan dia datang kerumahku, lantas sambil iseng dia berceloteh,

“Kalau saya menyebar 500 rantang dikali minimal 50 ribu rupiah, berapa yaa ?”


“Wah … sudah berani menghitung, memangnya lima puluh ribu itu wajib yaa?”, aku menjawab sambil lalu,
“Ndak juga sih, tabunganku kan sudah banyak Wak, kalau aku dapat tonjokan, aku selalu mencatat sendiri, berapa yang aku keluarkan untuk memberi ampau” > Tiiiiiiiing ***

Sebulan kemudian, usai hajatan khitanan anaknya, tersiar kabar tetanggaku ini sakit, kupikir, wajarlah karena baru saja hajatan, pasti lelah segala-gala, seminggu belum sembuh juga, maka aku datangi kerumahnya, sekedar menjenguk, dan disana kudapati tetanggaku tergolek lesu diatas pembaringan, saat kudekati, dia lantas berbisik, wajahnya menyiratkan sejumlah makna kesedihannya,

“Wak.., aku kebebes…”, lantas tanpa dikomandoi dia terisak pelan , padahal aku tuh berniat mau belikan motor si Panji, gak taunya begini …”
“Kok bisa…?” sahutku keheranan (dan memang aku tak menduga)
“Gimana gak kebebes, wong amplope ada yang isi ne cuma sepuluh ewu, setelah aku itung2, aku malah masih utang, jadi hajatane rugi Wak…”

Duuh … , seketika dadaku ikutan sesak, miris rasanya mendengar cerita tetangga ini, namun apa mau dikata, inilah adanya, meski tradisi adat `Tonjokan` dan adanya buku khusus untuk mencatat jumlah sumbangan-sumbangan, ketambah tetanggaku ini `kelewat rajin `mencatat, berapa yang dia sumbangkan pada tetangga dan kerabatnya, Rijki tak bisa diprediksi seenaknya, karena kita semua tahu, AllahTa`ala lah yang mengatur Rijki kita.

Tonjokan, kadang lebih sering menyisakan senyum pahit, karena ketika musim hajatan, seminggu bisa 3- 4 kali ditonjok tetangga, lantas diam-diam aku merenung, ketika tiba-tiba aku teringat pula, tukang sayur keliling bersepeda langgananku, juga terjebak dalam arena `tonjok menojok` ini, pasalnya, belum apa-apa dia sudah menghitung, berapa jumlah sumbangan yang akan dia terima seusai hajatan, miris memang, terlebih kemudian aku tahu, bahwa ternyata, mereka kadang lebih mendahului mengeluarkan sumbangan untuk para penonjok, mengabaikan kebutuhan yang lebih penting, yaitu biaya pendidikan anaknya, yang juga amat sangat mendadak.

Sekali lagi ini adalah adat tradisi, Mbah kung, Pak De, pak Lek, mungkin tak senyelimet ini berfikir, tradisi `Tonjokan` tidaklah salah, dimanapun ketika seseorang akan mengelar hajatan, pastilah kaum ibu yang terlebih dahulu, menyediakan bahunya untuk memikul semua resiko yang ada.

Tonjokan… oh … tonjokan.


Bandarlampung 03/06/2011

Minggu, 22 Mei 2011

Jalan Pagi Imajener di Seputar : Sriwijaya- Brawijaya- Sukabumi


Sama sekali tak terbayang, kalau nantinya aku bakalan lama terdampar di Sumatera, dan kesempatan untuk mudikpun sepertinya harus di audit ber-ulang kali, demi melihat kondisi macetnya jalan menuju Sukabumi tercintaku..

Sukabumi dalam ingatanku tidaklah banyak, kusebut tak banyak, karena jujur saja aku agak kesulitan untuk merangkai memory thinkingku kembali, jadi ….? Aku akan memulainya dari yang terdekat dahulu, kemana …? Kita ke SD Brawijaya dulu…
SD Brawijaya/ SD Teladan .. Sukabumi.

Yang pertama,  jelas aku mau menyebut sebuah nama yang ruarr biasa telah membuat aku jatuh cinta, yaitu CIWANG … , ehmmm .. beradu, berpelukan dengan sambal kacang uenaak tenan, Ciwang itu singkatan Aci jeung Bawang, Makanan ini sebenarnya tak baik jika dikonsumsi pagi hari, dan biasanya sebelum lonceng di tabuh Pak Haris yang jangkung, gerombolan bocah tanpa seragam dan hanya bersendal jepit kesekolah itu telah berkerumun diseputar bibik istri penjaga sekolah, sepotong-dua potong CIWANG sebagai sarapan jadilah.., cukup memacu stamina belajar.

Hari Senin adalah hari special buat kami, kenapa..? Hari Senin adalah Hari Ber-sepatu, berbaju putih-putih, Ritual bersepatu kelinci putih yang tidak semua putih bersih itu, bisa diakali, mudah dan cepat.
Ada kolam ikan yang sama sekali tak terlihat ikannya, letaknya persis disamping kantor Ibu Roro Juariah, sang Ibu Kepsek, sepatu-sepatu yang berwarna putih tua itu,  kami kelir dengan potongan kapur tulis, sebelumnya si kapur tulis dicelupkan terlebih dahulu ke air keruh di kolam tadi, lantas di gosok2 ke spatu kelinci, 10 menit kering, dan jadilah sepatu Kelinci putih dadakan, mendadak putih dan mendadak pula  bisa sewaktu-waktu kembali kewarna asal, yaitu putih tua.

Biasanya Pak Tatang akan selalu siap menggantikan  Ibu Roro, jika berhalangan hadir saat Apel, Hari itu, adalah Senin menyebalkan buat aku, pasalnya, karena tergiur si Ciwang yang imut2 dengan sambal kacang yang menggugah selera, tanpa sadar, aku menghabiskan 4 potong ciwang, dengan takaran sambal yang so pasti lebih banyak,  hari itu, uang saku ku agak lebih dari biasa, karena  sehari sebelumnya ada uwakku datang dari Jakarta, dan beliau memberiku uang.
Tiba giliran Apel bendera, isi Ciwang diperutku, mendadak berontak, badanku berkeringat dingin, dan tiba-tiba pandangan mataku gelap, aku sempoyongan, dan terkulay lemas, mun ceuk urang sunda mah, eta teh panik nahan hitut tapi hesyee, da keur upacara tea..

Rasanya jadi tak nyaman, tambah gak keruan, karena seharusnya Pak Tatang berdiri didepan murid-murid yang sedang apel, tapi entah kenapa saat aku di gotong ke UKS, Pak Tatang ikut mengantar, ikut sibuk, di ruang UKS, sejujurnya aku malu mengakui satu hal, jika berdekat-dekat dengan Pak Tatang ini, lho memangnya mengapa..?,  bocah ingusan seusiaku kenal juga yang nama jealous, hooor ..?

Aku kesal dengan pak Tatang, karena beliau terlalu perduli dengan kawan sebangku, kawan se bangkuku nama : Kiki Ratnasari, dia sigadis berkepang dua, penyuka warna hijau itu kerap membuatku marah, because jealous tadi , karena apa-apa Kiki, apa-apa Kiki, pokok e  Kiki lagi Kiki lagi.

Beruntung si Kikiwik tak ikut nyelonong menontonku kesakitan karena sakit perut, namun entah kenapa, tiba-tiba, pak Tatang bersuara sedikit keras, “Bintang teh tadi sarapan heula teu..? coba panggil Kiki, ditunggu sama Kiki aja yaa .., Kikiiiiiiiii,  Kiiii” ,
Nah … benar kan..? Kiki lagi Kiki lagi.. , pikirku dalam hati, hadeeeuh, tambah sakit perut rasanya, jangan …jangan…oh ..jangan.. jangan.. , duuuh fusyiiiing kefalaku …

Gadis berkepang dua itu dalam hitungan menit telah berada disamping dipan UKS,
“Eh… Bintang kunaoooon..? hihihi”  tanpa kuduga, Kiki mengacungkan coklat ke arahku, sakit perutku mendadak hilang, lantas kami berbincang, sebenarnya Kiki baik, terlalu baik malah, tapi Kiki tak mengerti, bahwa dalam diri ini, ada sebuah keinginan yaitu `pengakuan diri`, pengakuan bahwa aku juga `bisa`, dan Kiki pagi itu berbisik, “Bintang, ari arek hitut mah, nyaa hitut we..mumpung keur teu aya sasaha” , gadis berkepang itu ngikik, pita kepangnya bergerak-gerak.

Fenomena anehpun tersanding, dua bocah berlainan tampilan, lantas asyik ngrumpi komik  Hans Christian Andersen, yang satu rada kuleuheu, yang satu manis, rapi jali, dan baik hati, jangan salahkan Tuhan, jika mereka akrab satu sama lain, bahkan hingga puluhan tahun kedepannya, adakah sesuatu bisa dimaknai disini..?

Benar, mereka bisa saling melengkapi, Asli ..! selama satu tahun aku sebangku dengan Kiki di kelas enam, kami tak pernah bermusuhan, apalagi bertengkar. Kiki hanya menandai bangkunya, menggaris meja tulis disekolah kami dengan pengaris  dan poltot dengan garis panjang, lantas,  sruuuut ….. ! batas area jalur gazapun tergambar, selebihnya tak ada apapun, terkecuali besoknya aku membawakan dia komik HC. Andersen, plus senyum tentunya, “Maapin adhe Ki..”, Kiki yang baik hati akan seketika menyambut komikku terlebih dahulu, memeriksanya sejenak, (udah pernah dibaca belum, pikirnya, pasti), jika belum, Kiki akan tersenyum manizz, “iyaa dhe, sama2, maapin Kiki juga”

Jalan-jalan menelusuri masa lampauku, menghadirkan sebuah pemahaman, bahwa, kadang untuk melakoni `BISA` itu wajib diikuti `BAIK` meski tak selalu mutlak `BENAR`, karena Baik dan benar hanyalah milik Allah Ta`ala.

`Allahumma Alhimni Rusydii Wa Qinii Syarro Nafsii`, (Yaa Allah, berikan Ilham kepadaku agar selalu mengikuti Kebenaran dan Peliharalah aku dari segala Keburukanku)

Catatan :
Coklat adalah makanan kesukaanku, yang dalam situasi apapun coklat hingga kini kerap mengelabui situasiku sesungguhnya.


Damia B Gatimurni




Kamis, 05 Mei 2011

I Believe ....

Entah layak  atau tidak, aku seperti mendapat kepuasan tersendiri, acapkali bilang pada kepadanya, “I Believe”, sebab pengertiannya amat luas, dan disetiap harinya aku selalu saja menemukan hal-hal yang baru yang menakjubkan, dan bukan hanya sekali saja, aku tersipu sendiri, manakala menjumpai insiden yang ternyata mirip dengan apa sering di ucapkan guruku. 

Guru ku tak semata menjelaskan, meredam semua ketidak-mengertianku, akan tetapi dia juga seperti membiarkanku mencari wacana lain di luar, sebagai bahan komparasi dan acuanku menyerap pemahaman untuk lebih dekat lagi dengan yang Maha Suci dan Agung, Allahu Subhannallahu wa Ta`alaa.

Satu hari dia bilang, “Buku yang sedang kamu baca, nantinya akan menjadi cermin dari perjalanan hidup mu”
Nyatanya dia benar, (lagi-lagi dia telah mendahului kecepatan berfikirku), pagi itu aku menemukan penjelasan lewat sebuah buku karya prof Dasteghib/ Sayyid Abdul Husain Dasteghib, pada hal  94 tentang `Kestabilan Jiwa di kala Marah`, aku berulang-ulang mengangguk-anggukkan kepalaku sendiri, seolah mengiyakan semua pernyataan isi buku tersebut. Subhannallah, dan apa yang terjadi, Allah kembali menguji, menguji indikator ketahanan sang emo yang terkadang cenderung `ngenyel` ngotot bersarang di dada. 

Ceritanya begini :
Belum sampai 30 menit Abahku berangkat ke kantor, tiba2 dering bell jadul dari ponsel flexi ku berbunyi, diseberang sana, seorang lelaki bertanya, menanyakan suamiku, seketika kujawab, bahwa kini nomor yang dia tuju, telah menjadi nomor pribadiku dan kupersilakan, penelepon itu menghubungi ke flexi Abah langsung, lantas si lelaki itupun balas bertanya “ Nomornya bapak berapa buu..?”

Duuuh, ketara konyolnya, sekian detik aku terdiam, berusaha mengingat-ingat nomor flexi Abah, blaaaaaas  blank … L u p a a a a a,  kemudian dengan setengah tersipu, aku bergerak cepat “Sebentar yaa, Pak, saya ndak hafal nomor nya”, dan brrrr … swiiing.....!,  aku bergegas mencari ponselku yang satunya, celakanya insiden kedua muncul, ponsel low bat, sekali tekan, reup .. pareum, walaaaah …

Mataku menyambar mesin fax , aku ingat ada catatan2 nomor penting tersimpan dimesin itu, baru saja mau ku tekan tuts nya, yeyyyy mesin fax ikutan bleyon, seketika aku cabut kabel RJ, tukaran dengan kabel telp rumah, hasilnya tetap, display memory kosong, artinya something trouble, dadaku mulai sesak, serasa penuh, dan seperti habis lomba marathon, detak jantung mulai tak beraturan, tanpa sadar  keningku berkerut, dan bergumam sendirian,
“Tuuh kan Baah, kamu kok senang benar sih nyusahin aku, padahal sudah seminggu aku bolak balik bilang sama kamu, kabel RJ plus Roset kudu diganti”, sambil bergumam, aku masih berusaha tenang, kabel kupindahkan kembali kabel RJ ke line telepon rumah dan berharap bisa ku cari nomor flexi Abah, pada telepon rumah yang berfasilitas ID Called,  dan ……….tralala trilii,  batray telepon habis, sami mawon, display blank bin layar kosong. 

Allahu akbar .. , Astagfirllah, duuuh jangan marah, aku gak boleh marah, astaghfirllah … , 60 detik beristigfarr penuh, tiba2 ekor mataku menyambar ponsel putri kembarku, diujung kiri  mesin fax dan pesawat telepon, tergeletak sebuah buku berwarna putih dan hijau, ada ponsel anakku tepat disebelahnya, aku meraih buku tersebut, tangan sebelah kananku bekerja sama indera penglihatanku,  dengan kecepatan mata,  aku mencari-cari nomor suamiku, tiiing ......, dapat.!
Allhamdullilah, lelaki di ujung sana rupanyanya masih menunggu, “Yaa, haloo, oh yaaa yaa gak apa-apa buu, sama lah orang rumah juga suka gitu, berapaa…..? , terima kasih yaa buu”

                                                                *******************
Apa yang kumaknai disini adalah, bahwa ternyata untuk pekara sepele yang kemudian di beri bonus tambahan pekara-pekara kecil yang menyebalkan sering kali memicu emosi kita, artinya sangat tidak mudah untuk `setia` pada keteguhan ucapan sendiri, sering kita mendengar :
“Iya deh, aku mau sabar, gak lagi gampang marah” ,  atau, “Iya deh, aku mau berubah, tadi itu bla bla ..dsb” atau “ Yeeh kok sial benar sih, pagi ini ..?”, atau segudang alasan lain untuk membenarkan kita tidak bersalah, jadi ? yang salah siapa ..? 

Seseorang yang telah mengatakan `Hanya kepadaMu lah kami menyembah, hanya kepadaMU lah kamu meminta Pertolongan`, akan lupa akan kata-kata tersebut, manakala, rasa panik melanda diri lantas sikon menyeret kita pada rentetan kekonyolan yang sebenarnya adalah buah  dari sikap kita sendiri.
Konyol karena `lupa` mencatat dibenak nomor telepon anggota keluarga sendiri, `akh sayah mah udah tuwir, suka hese ngapalkeun nomor2 telepon` atau, `Iyaa nih, dasar Abah mah suka gitooh`. Aslinya adalah, Allah itu kerap menguji ketika `kesungguhan hati` tlah membulat menjadi tekad untuk perbaikan diri, dan biasanya pada proses perbaikan hati, ujian itu datang bertahap dari hal yang awalnya kita anggap biasa, kelalain diri yang dipaksakan `benar` oleh keegoan` kita sendiri. 

Terus..? percayakah kalian kenapa aku suka sekali bilang “I Believe”, karena NYATA, istigfarr itu dahsyat, hembus perlahan nafas kita, lalu mulai lah ucapkan Astaghfirllaaahaladzim … dengan perlahan berulang-ulang,  lalu perhatikan apa yang terjadi setelah itu …


Bandarlampung 3 Mei 2011

Damia B Gatimurni 

Rabu, 04 Mei 2011

Titik nya Aku Bersama Sang Koma


                     
Bukan tanpa sebab, kenapa lantas aku lari dan bersembunyi di sini, jujur saja, (maaf, jangan di artikan bershudzon ria), belakangan ini aku merasa kreatifitasku terbelenggu oleh sesuatu yang tidak kumengerti, naluri narsisku kadang mengebu, berharap sangat, agar seluruh pengeksploran diri ini, bisa seketika terdorong, melesat, muncul kepermukaan, meski sadar,  hal ini jauh dari mungkin, terkecuali ada Ridha Allah didalamnya,  yang sering kusebut-sebut sebagai `Anugrah Indah` dari sang Penyelamat.

Aku bukan Penulis, tapi sukaaaa sekali  M e n u l I s ……….

Berkali-kali aku menyakinkan diri, menulis yaa menulis saja, apapun yang ada dibenak, yaa tulis saja, tanpa beban, mengalir begitu saja. Senior-seniorku malah bilang  : “Ungkap semua secara perlahan, urai benang, dan sambungkan” , jangan perdulikan `keberatan` karena kita sedang berusaha `mensyiar`, semua ungkapan pasti mengundang komentar.

Terserah……!, sekarang aku ingin menulis ….dan tolong yaaa, jangan tersinggung, aku mau bicara tentang  T I t I k, tanpa koma.

Titik itu kaku, meski hanya satu tapi angkuh dan sombong, kubilang kaku dan sombong, karena malas meneruskan lagi kalimat, seolah-olah stop berhenti sampai di situ, 
di …… T I t I k ..!

Terus terang aku bertemu Titik, pada inbokan terakhir denganmu, dan kamu bilang disana, “Sudah yaa, kita jangan lagi inbokan dan lain-lain, Titik”, lama aku termenung tersandung `Titik`

Beberapa saat kemudian, sang Titik di mataku tiba-tiba saja, seperti berbalik dan berkeinginan balas mentitik, karena memang urusan kita telah selesai, stop berhenti bagai sebuah Titik tanpa koma.

Titik lantas mengubah diri menjadi monster kecil dan merasuk kedalam mouse disebelah kananku, kemudian dengan kekuatan penuh, sang Titik mencoba mentitik sebuah nama, dan itu namamu..!, mouse ditangan kananku `meragu`, “Boss, yang bener, ente tegaaaa ..? diapus namanye, ntar kagak keliatan idungnye”

“Titiiiiiiiiiiik…..” kataku pada mouse jelek disebelahku
“Males akh ..”
“Yeh … kamu mulai membangkang yaa ..?”

Sang Titik ditanganku, terdiam, membiarkan mataku melotot liar pada sebuah gambar lucu dan menggemaskan, sang Titik benar, titik ditanganku masih punya hati, setidaknya si Titik masih mempunyai koma, untuk meneruskan kalimat yang entah seperti apa bentuknya, yang jelas Koma dimataku adalah sebuah harapan, Koma yang terkesan kecil tak segagah Titik, Koma yang senantiasa menjadikanku penuh dengan segala harapan. Bahwa andai kita mau, dan menerima (Ridha), meski terkondisi `kecil dan tak berarti`, Koma dan sang Titik, yang ada ditanganku akan kujadikan sesuatu yang lebih berarti, luwes dan tak lagi kaku..tapi mengalir begitu saja … apa adanya…

Aku memang bukan penulis, aku hanya sukaaaaaa sekali menulis, dan aku lega, sudah menulis tentang Titik. (Titik …!)

Selesai, Titik.


Damia B Gatimurni


Senin, 02 Mei 2011

I Believe ....


Entah layak  atau tidak, aku seperti mendapat kepuasan tersendiri, acapkali bilang pada kepadanya, “I Believe”, sebab pengertiannya amat luas, dan disetiap harinya aku selalu saja menemukan hal-hal yang baru yang menakjubkan, dan bukan hanya sekali saja, aku tersipu sendiri, manakala menjumpai insiden yang ternyata mirip dengan apa sering di ucapkan guruku. 

Guru ku tak semata menjelaskan, meredam semua ketidak-mengertianku, akan tetapi dia juga seperti membiarkanku mencari wacana lain di luar, sebagai bahan komparasi dan acuanku menyerap pemahaman untuk lebih dekat lagi dengan yang Maha Suci dan Agung, Allahu Subhannallahu wa Ta`alaa.

Satu hari dia bilang, “Buku yang sedang kamu baca, nantinya akan menjadi cermin dari perjalanan hidup mu”
Nyatanya dia benar, (lagi-lagi dia telah mendahului kecepatan berfikirku), pagi itu aku menemukan penjelasan lewat sebuah buku karya prof Dasteghib/ Sayyid Abdul Husain Dasteghib, pada hal  94 tentang `Kestabilan Jiwa di kala Marah`, aku berulang-ulang mengangguk-anggukkan kepalaku sendiri, seolah mengiyakan semua pernyataan isi buku tersebut. Subhannallah, dan apa yang terjadi, Allah kembali menguji, menguji indikator ketahanan sang emo yang terkadang cenderung `ngenyel` ngotot bersarang di dada. 

Ceritanya begini :
Belum sampai 30 menit Abahku berangkat ke kantor, tiba2 dering bell jadul dari ponsel flexi ku berbunyi, diseberang sana, seorang lelaki bertanya, menanyakan suamiku, seketika kujawab, bahwa kini nomor yang dia tuju, telah menjadi nomor pribadiku dan kupersilakan, penelepon itu menghubungi ke flexi Abah langsung, lantas si lelaki itupun balas bertanya “ Nomornya bapak berapa buu..?”

Duuuh, ketara konyolnya, sekian detik aku terdiam, berusaha mengingat-ingat nomor flexi Abah, blaaaaaas  blank … L u p a a a a a,  kemudian dengan setengah tersipu, aku bergerak cepat “Sebentar yaa, Pak, saya ndak hafal nomor nya”, dan brrrr … swiiing.....!,  aku bergegas mencari ponselku yang satunya, celakanya insiden kedua muncul, ponsel low bat, sekali tekan, reup .. pareum, walaaaah …

Mataku menyambar mesin fax , aku ingat ada catatan2 nomor penting tersimpan dimesin itu, baru saja mau ku tekan tuts nya, yeyyyy mesin fax ikutan bleyon, seketika aku cabut kabel RJ, tukaran dengan kabel telp rumah, hasilnya tetap, display memory kosong, artinya something trouble, dadaku mulai sesak, serasa penuh, dan seperti habis lomba marathon, detak jantung mulai tak beraturan, tanpa sadar  keningku berkerut, dan bergumam sendirian,
“Tuuh kan Baah, kamu kok senang benar sih nyusahin aku, padahal sudah seminggu aku bolak balik bilang sama kamu, kabel RJ plus Roset kudu diganti”, sambil bergumam, aku masih berusaha tenang, kabel kupindahkan kembali kabel RJ ke line telepon rumah dan berharap bisa ku cari nomor flexi Abah, pada telepon rumah yang berfasilitas ID Called,  dan ……….tralala trilii,  batray telepon habis, sami mawon, display blank bin layar kosong. 

Allahu akbar .. , Astagfirllah, duuuh jangan marah, aku gak boleh marah, astaghfirllah … , 60 detik beristigfarr penuh, tiba2 ekor mataku menyambar ponsel putri kembarku, diujung kiri  mesin fax dan pesawat telepon, tergeletak sebuah buku berwarna putih dan hijau, ada ponsel anakku tepat disebelahnya, aku meraih buku tersebut, tangan sebelah kananku bekerja sama indera penglihatanku,  dengan kecepatan mata,  aku mencari-cari nomor suamiku, tiiing ......, dapat.!
Allhamdullilah, lelaki di ujung sana rupanyanya masih menunggu, “Yaa, haloo, oh yaaa yaa gak apa-apa buu, sama lah orang rumah juga suka gitu, berapaa…..? , terima kasih yaa buu”

                                                                *******************
Apa yang kumaknai disini adalah, bahwa ternyata untuk pekara sepele yang kemudian di beri bonus tambahan pekara-pekara kecil yang menyebalkan sering kali memicu emosi kita, artinya sangat tidak mudah untuk `setia` pada keteguhan ucapan sendiri, sering kita mendengar :
“Iya deh, aku mau sabar, gak lagi gampang marah” ,  atau, “Iya deh, aku mau berubah, tadi itu bla bla ..dsb” atau “ Yeeh kok sial benar sih, pagi ini ..?”, atau segudang alasan lain untuk membenarkan kita tidak bersalah, jadi ? yang salah siapa ..? 

Seseorang yang telah mengatakan `Hanya kepadaMu lah kami menyembah, hanya kepadaMU lah kamu meminta Pertolongan`, akan lupa akan kata-kata tersebut, manakala, rasa panik melanda diri lantas sikon menyeret kita pada rentetan kekonyolan yang sebenarnya adalah buah  dari sikap kita sendiri.
Konyol karena `lupa` mencatat dibenak nomor telepon anggota keluarga sendiri, `akh sayah mah udah tuwir, suka hese ngapalkeun nomor2 telepon` atau, `Iyaa nih, dasar Abah mah suka gitooh`. Aslinya adalah, Allah itu kerap menguji ketika `kesungguhan hati` tlah membulat menjadi tekad untuk perbaikan diri, dan biasanya pada proses perbaikan hati, ujian itu datang bertahap dari hal yang awalnya kita anggap biasa, kelalain diri yang dipaksakan `benar` oleh keegoan` kita sendiri. 

Terus..? percayakah kalian kenapa aku suka sekali bilang “I Believe”, karena NYATA, istigfarr itu dahsyat, hembus perlahan nafas kita, lalu mulai lah ucapkan Astaghfirllaaahaladzim … dengan perlahan berulang-ulang,  lalu perhatikan apa yang terjadi setelah itu …


Bandarlampung 3 Mei 2011

Damia B Gatimurni 
                                                                                                             

Selasa, 26 April 2011

Jelang Pulang Kembali Sendiri (Setelah Ini Sunyi)

Yaa Allah,
Biarkan ini yang terakhir, yang menjadi milikku..
Biarkan yang satu ini ku simpan ..
Biarkan aku tetap mengingat kelalaianku sendiri
Biarkan ini menjadi obat pereda degup liar didadaku
Biarkan ini tetap ada
Biarkan aku menangis tanpa suara
Biarkan aku tega kepadanya
Biarkan aku menutup pintu hatiku
biarkan dia tau, bahwa aku sama sekali tak membenci dia
Biarkan dia dengan segala maunya
Biarkan dia melukaiku tanpa ada seorangpun yang tau
Yaa Allah,
Karena aku mencintaiMU, maka aku tak berani melibatkanMU dalam pekara ini.
Yaa Allah,
Andaikanpun kelak seluruh isi bumi berpihak kepadanya, bersatu padu meninggalkanku, Asalkan Engkau, TIDAK..


Utk catatan sendiri : "Setelah ini sunyi"

Damia B Gatimurni

Puisi-Puisi CINTA Dee Kepada ALLAH



Fenomena

Mungkin, setelah ini kamu adalah cerita lama

Mungkin, melepasku dengan iringan sembabnya matamu adalah rasa `suka`
Mungkin, yang dulunya kita sempat terbang bersama adalah bukan cinta,
Mungkin, menjadikan animasi khayalmu, kepadaku adalah hitungan kasat mata,
Mungkin, pada apapun yang kusuka darimu adalah semangatku disaat aku `patah`
Mungkin juga kini,  kamu sama –sama merasa menjadi burung mengawang sendirian disana,
Atau pada sejuta mungkin yang bisa kamu lukis, tuk mengikis parau nya swaramu,
Kita bukanlah Cinta, meski pernah bersama, kita adalah fenomena
Kita bersama dan ADA karena Allah semata


                                                        



                            
HHH…
Lantas kemudian aku melihat namanya tersebut dimana-mana
Disetiap halaman yang aku `klik` ekor mata kananku menyergapnya
Sebuah nama yang begitu menghamba pada `KeangunganNYA`
Sebuah pesona, yang entah sudah berapa lama `pergi` dengan jejak saksi didada teman2ku juga
Penyuka lima huruf dengan desau panjang, yang ku rindukan keberadaannya
Namun nyaliku menggagap saat lisanku berusaha memanggilnya 






Hope …
Yaa Allah, jangan marah
Aku memang sedang  sedang jatuh cinta, karena mencintai  terlalu mahal bagiku
Aku ingin Engkau tau, senyum ini sesungguhnya terasa pahit, meski sebelah tanganku tlah berpegangan denganMU
Aku sakit, pucat, itu benar, dan tak boleh seorangpun tau, saat Kau lapangkan hatiku, Kau Bebaskan Jiwaku
Tuhan, mengapa harus ..?
 Jiwa ragaku letih terlebih dahulu, baru Kau belai aku
Akh .. aku seperti merajuk kepadaMu, merasa-rasa seperti Engkaulah kekasihku ..
Menunduk tersipu, berharap …




Ada bening dimata Bunda
Yaa Rabb,
Kini kami bersimpuh dihadapan MU
Mengadu dalam ketidakmengertian atas kehendakmu
Mengadu dalam tangis tertahan 
Mengadu dalam ketidakberdayaan.
Sungguh
Kami lah umat MU yang penuh dengan segala khilaf, kembali datang padaMU
Kembali tuk mencari Cinta Mu
Pada separuh asa yang tersisa ini,  dan diantara isak rindu kepadaMU, ada sesal yang tak kunjung usai  semata karena lalainya kami
Andai kebenaran adalah milikMU, jangan biarkan kami seperti ini
Genggam lah tangan kami  dalam rengkuh segala nikmat mukjijat MU
Tuntunlah kami pada tepian harap
Sungguh
Ubahlah ketidakpastian ini olehMU
Jadikan segalanya NYATA 
Yaa Rabb
Terangi akal pikiran kami, beri kami kekuatan tuk menepis gemuruh didada bunda
Jadikan segalanya NYATA
Ajari kami menukar isak tertahan bunda dengan kelulusan ujian-ujian kami
Yaa Rabb
Izinkan kami meminjam mukjijatmu, sedetik saja 

Di dedikasikan untuk  anak-anak mama tercinta,  
Anak-anak yang mama kenal, Selamat Berjuang 


                           

Dimensi Cermin
Yaaaa Allah …, apa ini namanya
Ketika aku baru saja usai bermunajat kepadaMU, menyertakan sejumlah rasa syukurku, yang  lantas diam-diam kuselipkan harapan akan adanya sebuah pengakuan akan AmpunanMU, aku tertegun lama 
Yaa Allah, apa ini namanya
Ketika  sebelumnya aku merasa sedemikian `yakin` atas `Kebenaran` sikapku, serasa BENAR di MataMU, yang kemudian kulihat, itu tak ada .. 
Yaaa Allah.. apa ini namanya,
Ketika pada akhirnya, aku,  mau tak mau mengakui, Engkau lebih tau apa lebih kubutuhkan.
Yaa Allah .., apa ini namanya,
Jika lagi-lagi aku terkesima, bahwa Engkau suka sekali mengodaku, menunda apa yang menjadi mauku
Yaa Allah, ini kah Cinta …
Karena ku tau, Cinta KepadaMU, tidaklah mungkin sesegera itu mengharapkan balasanMU,
Cinta kepadaMU,  adalah,  tidak lagi mengharapkan apapun dariMU, terkecuali RidhaMU
Cinta KepadaMu, adalah,  antara aku dan keinginan selalu Baik dimataMU




Sendiri
Biarkan aku melihat, mendengar, berfikir, bermimpi, berimajinasi, tentangmu
Biarkan aku merasakan, dan melarungkan semua setelahnya, sesuatu yang menurutmu tak layak kusimpan.
Cepat atau lambat, aku harus berjalan dan pulang sendiri..
Separuh hati bersihmu, akan kubawa, ku jadikan lentera.
Terima kasih utk hari-hari yg melelahkan ..
Dan saat ini, aku ingin bilang : “Aku Ingin Tuhan Tak Jadi marah kepadamu


 
Bandarlampung, April hebat..!
Damia B Gatimurni
   
                                                            














                                                                                             
















Cukup, Dengarkan Saja Aku Bicara


Surat Kepadamu, Diujung Sana

Pagi  hari seusai sholat dhuha, ponselku berkedap kedip, suaranya pelan, dan memang sengaja ku kecilkan volumenya, ada sebuah nama tertera display ponsel, nama yang ku rindu diam-diam,
“Dee, ini Aya ……………”  dan bla bla bla kami bicara panjang lebar, berikut kudengar isak pilu tertahan, lantas entah dari mana datangnya,  tiba-tiba aku punya keberanian lagi untuk `marah` kepadanya, jelas ini amat langka bagiku, karena `marah sudah lama ku pendam jauuh ke dasar bumi, dan tak ingin ku lihat lagi. 

Lucunya disaat yang sama, tiba-tiba aku juga teringat kepadamu di ujung sana, karena aku sempat berkhayal, bahwa aku ingin sekali bertemu denganmu, lantas kita bincang-bincang, aku juga sempat berkhayal, kita bertemu di sebuah pantai, dengan debur ombak yang memekak hebat ditelinga, lalu kita sepakat bicara pelan sambil mengukur kekuatan konsentrasi pikiran menahan lajunya brisik alam disekitar. Yaa, inilah khayalku yang belum kesampaian sampai kemudian datang telepon dari Aya.

Ada banyak sebab kenapa aku butuh sekali bertemu denganmu, asli nya aku ini tak setegar yang kamu duga, dikuat-kuatkan semata demi `janji diam-diam` kepada ibundaku, dan engkau tau hal itu.  
Kau tau,
Aku ingin bicara tentang kehidupan, yang tak bisa dibeli diwacana manapun terkecuali itu ada pada proses pengalaman hidup seseorang, pengalaman hidup yang kemudian melahirkan rasa `empati` pada siapapun saja, terlebih mereka yang mengalami sendiri, `tercubit, terjepit` ganasnya hidup, lantas menggelepar sendirian. 

Kau tau,
Kadang aku sering bertanya-tanya, mengapa mereka selalu saja seperti terjebak pada kalimat “ Jangan sampai terlambat membuka mata, jika engkau tak ingin menangis dengan sendirinya”, sebuah kalimat yang sesungguhnya adalah juga `warning` buat aku sendiri, jadi…? bisa kah engkau menafsirkan, betapa hebatnya pergolakan batin ku ? 

Duuh, ingin rasanya aku berteriak, mengapa selalu saja kamu terlambat menyadari , bahwa sesungguhnya aku butuh rasa `empati` darimu, setidaknya, cukup untuk mendengarkan saja aku bicara, yaa.., benar...!, cukup dengarkan  saja aku bicara … 
Kau tau,
Kini, kamu di mataku, tak ubahnya seperti  mereka yang lain, selalu menganggap aku ini `aneh`, terlalu banyak mikir lah inilah, itulah, lantas berakhir dengan “Dee, maafkan aku, selama ini aku salah mendugamu”.

Kembali Aya,
Aya bilang akh … , lagi-lagi  Aya mengatakan hal yang sama, “Dee, maafkan aku..”
Kamu pun bilang  sore kemarin, “Dee, maafkan aku ”
Kalian berdua sama-sama menangis, menangis untuk hal yang berbeda, diwaktu dan tempat yang berbeda, kalian bak bumi dan langit, dan … .. saat ini, aku hanya tau, kalian menangis untuk hal yang sama, yaitu untuk sebuah kalimat “Jangan Sampai Terlambat Membuka Mata, Jika engkau tak  ingin menangis dengan sendirinya.
Lantas, aku menangis, karena rasa `empati` ku kurang diminati..
Maka kini aku hanya ingin bilang kepadamu di ujung sana, cukup, dengarkan saja aku bicara …



Bandarlampung 27 April 2011


Pada Sisi Terdalamku 




Damia B Gatimurni