Mbah Lasini tetanggaku, Minggu besok akan kendurian, putri bungsunya akan menikah, tapi sejak hari selasa dapurnya sudah penuh dengan barisan rantang susun, rantang-rantang yang kelak akan diisi nasi dan lauk pauk itu, itu nantinya akan berkeliling kampung bahkan keluar kampung sekalipun, sebuah tradisi unik dari masyarakat Lampung ini kemudian berkembang menjadi semacam isyarat persatuan keutuhan bersilaturahim.
Masyarakat Lampung keturunan Jawa ini, melakukan kebisaan yang unik yaitu: jika mereka menggelar hajatan, mereka akan mengundang tetangga dan kerabatnya melalui hantaran makanan penuh lauk pauk yang dikemas dalam rantang susun. Kebiasaan ini dikenal dengan nama `Tonjokan`.
Tonjokan adalah isyarat bahwa yang di undang adalah seseorang yang di tuakan, dihormati disayangi, dan jika si mpunya hajat mengundang dengan kartu undangan biasanya meski kartu undangannya terkesan mewah sekalipun, belum lah tentu orang mau datang ke pesta kenduriannya, tetanggaku bilang, :
“Tonjokan itu penghormatan pihak keluarga Wak, mangkanya harus datang kalau di`Tonjok”.
Tradisi turun temurun ini masih dipegang teguh, akan tetapi tak menutup kemungkinan suku lainpun yang hidup bersama-sama dengan masyarakat yang mengenal kebiasaan ini, ikut-ikutan memakai adat ini, seperti aku misalnya.
Lantas `Tonjokan` juga dijadikan semacam arisan sanak keluarga, artinya mereka yang telah menonjok harus bersiap diri sewaktu-waktu ditonjok, walaaaaah, criiiing ..! pasti sesudahnya babak belur, kok bisa ?, ikuti saja ceritaku …
Sebuah rantang susun berisi lauk pauk dengan takaran diperkirakan bisa di santap satu keluarga itu biasanya terdiri dari : Nasi, Semur ayam, dengan lauk ayam ukuran besar (satu ekor dibelah empat ), Telur balado, Sayuran tumis, Sambal goreng kentang, Mie goreng/ bihun goreng, semuanya dalam takaran agak sedikit banyak.
Dan tentu saja, hantaran `Tonjokan` ini akan membutuhkan tenaga pengantar cukup banyak, seperti yang aku katakan tadi, jumlah rantangnya saja bisa mencapai 500 an buah, bisa kita bayangkan bukan?, betapa repotnya saat menjelang pembagian rantang, karena dibagikan serentak, untuk hantaran kepada kerabat yang agak jauh, biasanya digunakan jasa ojek, maka konvoi hantaran `Tonjokan`pun menjadi fenomena tersendiri, dilihat dari adat dan kebiasaan ini, sudah bisa kita perhitungkan bahwa biaya perhelatan model ini, jelas membutuhkan biaya yang sangat banyak
Bagi tetangga dan kerabat dekat, yang mendapatkan kiriman tonjokan ini, mempunyai kewajiban moral untuk mengembalikan `Tonjokan` yang dia terima. Kerabat dekat biasanya mengembalikan dalam bentuk makanan mentah, katakan lah ini semacam bantuan, gotong royong menanggung biaya perhelatan, atau bisa saja dalam bentuk ampau/ uang dalam amplop (yang jumlahnya sedikit lebih dari biasa/ jika memang ada)
Biasanya si Mpunya hajat telah menunjuk seseorang untuk mencatat semua sumbangan dari orang yang menerima tonjokan, misalnya Ibu Hasan menyumbang/mengembalikan `tonjokan` berupa beras satu karung berisi 25 kg, maksudnya adalah, jika kelak Ibu Hasan satu ketika mengundang lewat `tonjokan` juga , maka dia(pemilik hajat/ orang yang menonjok), harus siap mengembalikan lagi sumbangan beras sebesar 25 kg kepada penyumbang , tidak lebih tidak kurang, dan tentu saja, mereka yang menyumbang hanyalah sebatas keluarga atau kerabat terdekat.
Benar ini adalah adat semata, dan sudah dilakoni oleh sebagian masyarakat Lampung keturunan Jawa sejak lama, jadi meski awalnya keningku sedikit berkerut, karena agak risi dengan kebiasaan adat tersebut, berhubung ada semacam peraturan tak tertulis, yaitu yang ditonjok `wajib` datang mengantarkan sumbangan gotong royong hajatan, maka mau tak mau aku terpaksa ikutan wajib datang meski lebih sering datang dengan membawa ampau saja.
Ada cerita lucu sekaligus miris dari tradisi `tonjokan` ini, pernah, seorang tetanggaku yang kebetulan dahulu akan mengkhitankan anak lelakinya, satu bulan menjelang hajatan dia datang kerumahku, lantas sambil iseng dia berceloteh,
“Kalau saya menyebar 500 rantang dikali minimal 50 ribu rupiah, berapa yaa ?”
“Wah … sudah berani menghitung, memangnya lima puluh ribu itu wajib yaa?”, aku menjawab sambil lalu,
“Ndak juga sih, tabunganku kan sudah banyak Wak, kalau aku dapat tonjokan, aku selalu mencatat sendiri, berapa yang aku keluarkan untuk memberi ampau” > Tiiiiiiiing ***
Sebulan kemudian, usai hajatan khitanan anaknya, tersiar kabar tetanggaku ini sakit, kupikir, wajarlah karena baru saja hajatan, pasti lelah segala-gala, seminggu belum sembuh juga, maka aku datangi kerumahnya, sekedar menjenguk, dan disana kudapati tetanggaku tergolek lesu diatas pembaringan, saat kudekati, dia lantas berbisik, wajahnya menyiratkan sejumlah makna kesedihannya,
“Wak.., aku kebebes…”, lantas tanpa dikomandoi dia terisak pelan , padahal aku tuh berniat mau belikan motor si Panji, gak taunya begini …”
“Kok bisa…?” sahutku keheranan (dan memang aku tak menduga)
“Gimana gak kebebes, wong amplope ada yang isi ne cuma sepuluh ewu, setelah aku itung2, aku malah masih utang, jadi hajatane rugi Wak…”
Duuh … , seketika dadaku ikutan sesak, miris rasanya mendengar cerita tetangga ini, namun apa mau dikata, inilah adanya, meski tradisi adat `Tonjokan` dan adanya buku khusus untuk mencatat jumlah sumbangan-sumbangan, ketambah tetanggaku ini `kelewat rajin `mencatat, berapa yang dia sumbangkan pada tetangga dan kerabatnya, Rijki tak bisa diprediksi seenaknya, karena kita semua tahu, AllahTa`ala lah yang mengatur Rijki kita.
Tonjokan, kadang lebih sering menyisakan senyum pahit, karena ketika musim hajatan, seminggu bisa 3- 4 kali ditonjok tetangga, lantas diam-diam aku merenung, ketika tiba-tiba aku teringat pula, tukang sayur keliling bersepeda langgananku, juga terjebak dalam arena `tonjok menojok` ini, pasalnya, belum apa-apa dia sudah menghitung, berapa jumlah sumbangan yang akan dia terima seusai hajatan, miris memang, terlebih kemudian aku tahu, bahwa ternyata, mereka kadang lebih mendahului mengeluarkan sumbangan untuk para penonjok, mengabaikan kebutuhan yang lebih penting, yaitu biaya pendidikan anaknya, yang juga amat sangat mendadak.
Sekali lagi ini adalah adat tradisi, Mbah kung, Pak De, pak Lek, mungkin tak senyelimet ini berfikir, tradisi `Tonjokan` tidaklah salah, dimanapun ketika seseorang akan mengelar hajatan, pastilah kaum ibu yang terlebih dahulu, menyediakan bahunya untuk memikul semua resiko yang ada.
Tonjokan… oh … tonjokan.
Bandarlampung 03/06/2011
Pages
Cara sederhana agar kita bahagia, Yaa nuliiiiis, baca, bagikan ..
Kamis, 02 Juni 2011
Mengenai Saya
- Bintang Gatimurni
- Aku hanyalah seorang biasa-biasa saja, dan beruntung dunia ini bulat yaa, hingga adakalanya aku memaksa diri untuk tersenyum lebar, sekaligus mencoba untuk belajar menghargai tanda-tanda. Rasa Siang atau Malam, hanya sebuah `tanda` dari sekian banyak Wujud Ke Agungan Sang Pencipta, adalakalanya, sebagian orang terpaksa berjalan di rasa `Malam`, ternyata dia Mampu melewatinya, tanpa harus kehilangan arah. Hasbunnallah Wani`mal Wakiil (Damia B Gatimurni)
Blog Archive
-
▼
2011
(9)
- ► April 2011 (3)
0 komentar:
Posting Komentar